Berikutkisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening. Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
AksaraJawa termasuk dalam mata pelajaran Bahasa Jawa yang dipelajari di sekolah maupun universitas di Provinsi Jawa Tengah. Dalam cerita rakyat, terdapat asal usul mengenai terbentuknya penulisan aksara Jawa. "Wiwitan saking setunggaling tiyang pengembara saking siti hindustan naminipun Aji Saka. Piyambakipun dugi dhateng siti jawi kangge mucalaken elmi kawruh sareng kalih tiyang abdi setianipun, inggih punika Sembada lan Dora.
LegendaRawa Pening. Tinggalah sepasang suami dan istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Mereka berdua menetap di desa bernama Ngasem. Desa tersebut terletak di antara Gunung Merbabu dan Telomoyo. Keduanya terkenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh warga di sekitarnya.
EditorDini Daniswari. Legenda Rawa Pening merupakan legenda yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah. Rawa Pening merupakan danau alami yang memiliki luas 2.670 hektar. Danau ini berada di empat wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang, yaitu Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru.
TumuliNi Endhang ngadhep dhateng Ki Hajar rumaos lepat, nanging ingkang dipunlapuri, Ki Hajar, boten duka. Cerita-Rakyat-Berbahasa-Jawa-Legenda-Rawa-Pening. Sawetawis dinten, Dhusun Ngasem geger, amarga Ni Endhang nggarbeni. Ki Hajar Salokantara tumuli dhawuh Ni Endhang banjur ngadhep.
U03ZCB6. Buku ini bercerita tentang legenda Rawapening yang ada di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free CERITA RAKYAT DARI JAWA TENGAHDitulis olehTri WahyuniLegenda Rawa Pening Katalog Dalam Terbitan KDTWahyuni, TriLegenda Rawa Pening/Tri Wahyuni. Penyunting Dony Setiawan. Jakarta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016ix 52 hlm; 21 cmISBN 978-602-437-027-51. KESUSASTERAAN RAKYAT-JAWA2. CERITA RAKYAT-JAWA 598 2WAHlLEGENDA RAWA PENINGPenulis Tri WahyuniPenyunting Dony SetiawanIlustrator Rizqia SadidaPenata Letak Giet WijayaDiterbitkan pada tahun 2016 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta TimurHak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah. iiiKata PengantarKarya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata, tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan realitas yang ada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup, teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagai bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu, apabila berdasarkan pada gagasan atau cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral, budi pekerti, nasihat, simbol-simbol lsafat pandangan hidup, budaya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan serta konik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman dalam kehidupan itu berimbas pula pada keberagaman dalam karya sastra karena isinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab dan sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi dan multiinterpretasi. ivDengan menggunakan media bahasa, seni imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untuk dapat ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisis dari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itu sangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa yang menelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinya dengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuan yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastra berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol, kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun berlawanan mereka bekerja sama, dan dari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”. Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari membaca karya sastra, salah satunya membaca cerita rakyat yang disadur atau diolah kembali menjadi cerita anak. Hasil membaca karya sastra selalu menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk berkreasi menemukan sesuatu yang baru. Membaca karya sastra dapat memicu imajinasi lebih lanjut, membuka pencerahan, dan menambah wawasan. Untuk itu, kepada pengolah kembali cerita ini kami ucapkan terima kasih. Kami juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang vPembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku buku cerita ini tidak hanya bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagai bahan pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa Juni 2016Salam kami,Prof. Dr. Dadang Sunendar, viiSekapur SirihPuji syukur kami persembahkan ke hadirat Allah Swt. karena atas rahmat dan karunia-Nya, Legenda Rawa Pening ini dapat tersusun dengan baik. Hasil kerja ini merupakan salah satu wujud nyata pengembangan bahasa dan sastra, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat Jawa Tengah yang ada dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari budaya masyarakat pendukungnya. Penulisan cerita rakyat Legenda Rawa Pening ini dilakukan dengan niat awal untuk menjaga keutuhan cerita milik masyarakat agar generasi muda tidak kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat yang ada. Selain itu, upaya ini dilakukan sebagai benteng agar budaya lokal tidak semakin tergerus oleh budaya asing yang masuk melalui berbagai media dewasa ini. Dengan dasar pemikiran itu, harus diupayakan pendokumentasian secara bertahap dan terus-menerus. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan cerita rakyat ini. Semoga Tuhan memberkahi upaya ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan cerita rakyat ini. Segala kritik, viiipendapat, sumbang saran, dan masukan dengan senang hati akan penulis terima demi perbaikan pada masa mendatang. Harapan penulis, semoga hasil pekerjaan ini bermanfaat dan dapat menjadi salah satu dokumen guna melestarikan budaya lokal yang merupakan penanda jati diri bangsa. Tri Wahyuni ixDaftar IsiKata Pengantar ................................................. iiiSekapur Sirih ..................................................... viiDaftar Isi .......................................................... ixLegenda Rawa Pening ........................................ 1Biodata Penulis .................................................. 49Biodata Penyunting ............................................ 51Biodata Ilustrator.............................................. 52 1LEGENDA RAWA PENINGRawa Pening merupakan daerah rawa yang menjadi objek wisata yang menarik di Jawa Tengah. Area tersebut merupakan ekosistem enceng gondok. Tumbuhan enceng gondok tampak subur membentuk hamparan permadani hijau di atas rawa tersebut. Objek wisata itu menawarkan keindahan berbalut mitos dan cerita mistis yang kental. Ada cerita tentang Bukit Cinta yang diyakini dapat membuat hubungan pasangan yang datang ke tempat tersebut terputus hubungannya. Ada lagi cerita tentang penampakan perempuan tua yang sedang menaiki sebuah perahu berbentuk lesung. Tidak dimungkiri hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke Rawa Pening. Objek wisata Rawa Pening berada di wilayah antara Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Bawen, Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Rawa nan elok tersebut terletak di daerah cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Tempat yang memang menghadirkan nuansa keindahan ini menawarkan keindahan alam yang menyegarkan mata 2yang memandang. Di balik keelokan yang terbentang itu tersimpan sebuah cerita yang melatarbelakangi terjadinya rawa zaman dahulu terdapat sebuah desa yang asri di tanah kekuasaan Kerajaan Mataram, yakni Desa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang arif dan bijaksana yang bernama Ki Sela Gondang. Desa Ngasem terletak di kaki Gunung Telomoyo. Rakyat di desa tersebut hidup rukun dan damai. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Hamparan sawah dan ladang terlihat bak permadani dari kejauhan. Setiap pagi para petani berangkat ke sawah dan ladang menggarap tanah dan tanaman yang tumbuh di bumi Desa Ngasem yang subur. Semboyan gemah ripah loh jinawi menjadi penyemangat tersendiri bagi penduduk desa untuk senantiasa giat dan rajin bekerja. Selain menggarap sawah dan ladang, rakyat Desa Ngasem pun bermata pencaharian sebagai nelayan di sungai-sungai yang mengalir di desa itu. Hasil tangkapan ikan di sungai-sungai cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk desa. Para penduduk membawa hasil bumi dan hasil tangkapan ke pasar untuk ditukarkan kebutuhan sehari-hari. Hasil bumi Desa Ngasem memang melimpah ruah. Sebagian dinikmati oleh rakyat desa tersebut dan 3sebagian dijadikan sebagai upeti yang dipersembahkan ke kadipaten. Di bawah kepemimpinan Ki Sela Gondang, Desa Ngasem terkenal sebagai desa yang makmur, aman, dan sejahtera. Kebijaksanaan Ki Sela Gondang telah membuat rakyat Desa Ngasem mencintainya. Ia adalah sosok pemimpin harapan rakyat. Sikapnya yang santun dan adil menjadikan rakyat Desa Ngasem segan dan menaruh hormat kepadanya. Ki Sela Gondang merupakan sosok pemimpin yang baik. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pejabat yang minta dilayani, justru ia menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Tidak jarang Ki Sela Gondang bersama-sama penduduk desa membangun jembatan atau membangun balai desa. Ia memiliki seorang istri dan seorang putri cantik bernama Endang suatu ketika di Desa Ngasem akan diselenggarakan acara merti desa1 dan sedekah bumi sebagai wujud rasa syukur penduduk Desa Ngasem atas limpahan hasil bumi dan keadaan yang aman sentosa. Untuk itu, lima belas hari sebelum penyelenggaraan pesta rakyat itu para penduduk sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut dan memeriahkan penyelenggaraan acara tersebut. Biasanya, sedekah 1 Peringatan hari jadi desa 4bumi tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam sebelum acara puncak merti desa. Para gadis di desa tersebut sibuk mempersiapkan diri berlatih tari-tarian yang elok yang akan ditampilkan pada malam merti desa. Para pemuda dan para kepala keluarga bahu-membahu menghias tanah lapang dengan beraneka hiasan dari janur dan bambu. Para ibu sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyajikan hidangan lezat selama acara pesta rakyat. Semua persiapan tersebut dipusatkan di sekitar kediaman Ki Sela Gondang. Tidak heran rumah Ki Sela Gondang menjadi sangat ramai oleh kesibukan para penduduk mempersiapkan hajat besar Desa Ngasem malam, Ki Sela Gondang mengumpulkan semua perangkat desa di pendapa rumahnya. Sebagaimana kebiasaan dalam rangka merti desa, dibutuhkan sarana tolak bala berupa sesaji dan pusaka sakti milik seorang resi terkenal saat itu. Untuk keperluan tersebut, Kepala Desa mengutus sang putri untuk meminjam pusaka sakti milik sahabatnya, seorang resi bernama Ki Hajar Salokantara. Pusaka tersebut sedianya digunakan sebagai tolak bala atau salah satu syarat penyelenggaraan pesta rakyat agar acara berjalan lancar tanpa halangan. 5Ki Sela Gondang juga memerintahkan para perangkat desa untuk menyiapkan segala sesuatunya termasuk para demang, adipati, dan pejabat kadipaten yang akan diundang. Nyi Mentik Bestari atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Sela Gondang dan Endang Sawitri tampak duduk di sudut pendapa menyimak rapat yang dipimpin Ki Sela Gondang pada malam itu. Namun, sang Nyai tampak agak gelisah. Akhirnya, ketika ada kesempatan beliau mengajukan pertanyaan kepada suaminya selaku pemimpin rapat pada malam itu.“Maaf, Kakang Sela. Apa tidak sebaiknya Kakang mengutus satu orang perangkat untuk mendampingi putri kita?” tanya Nyai Sela Gondang kepada suaminya.“Jangan khawatir, Nimas. Aku yakin Endang Sawitri mampu melakukan perjalanan sendiri ke padepokan sahabatku, Ki Hajar Salokantar. Olah kanuragannya sudah cukup lumayan. Ki Sanu Amerta, guru olah kanuragan Endang Sawitri telah mengabarkan kepadaku bahwa putri kita sudah mengusai beberapa jurus andalannya,” jawab Ki Sela Gondang dengan bijaksana.“Bukan begitu, Nak?” tanya Ki Sela Gondang mengalihkan pandangannya kepada putri semata wayangnya, Endang tersenyum dan mengangguk tanda setuju Endang Sawitri membalas pertanyaan ayahnya. 6“Kaulihat sendiri, kan, Nimas? Putri kita sudah sanggup menerima perintah dari ayahandanya,” kata Ki Sela Gondang seraya tersenyum kepada istrinya.“Baiklah, Kakang. Nimas Ayu Endang Sawitri anakku, Ibu hanya dapat mendoakanmu dan memberi restu semoga Dewata Agung melindungimu,” kata Nyai Sela Gondang seraya memeluk putri kesayangannya itu. Ada seberkas ragu dan gundah di matanya. Naluri keibuannya menyiratkan sebuah kekhawatiran yang teramat sangat. Namun, demi kepatuhannya kepada sang suami dan rasa sayangnya kepada sang putri, akhirnya ia merelakan putrinya pergi menunaikan perintah Ki Sela cerita, Endang Sawitri menjalankan titah sang ayah untuk meminjam pusaka kepada sang Resi, sahabat ayahnya. Ia pergi menuju lereng Gunung Telomoyo tempat resi tersebut tinggal. Endang Sawitri menunggang seekor kuda yang terlatih melintasi jalan terjal berbatu dan ngarai yang elok. Sesekali ia mampir di sebuah sungai untuk melepas dahaga dan penat. Gejolak remajanya terkadang menggelegak menguasai dirinya. Keriangan alami yang tak dibuat-buat membuatnya begitu bahagia. Ia bermain riak-riak air sungai, sesekali berlarian di pinggir sungai mengejar kupu-kupu bersayap cantik, menangkap ikan dan katak 7yang ada di sungai, kemudian melepasnya kembali. Ia sangat menikmati perjalannya tersebut. Diam-diam ia sangat mengagumi pesona alam di desanya yang sungguh indah. Terselip rasa bangga dan kagum di dalam benaknya akan kepemimpinan ayahnya, Ki Sela Gondang yang telah memimpin Desa Ngasem yang elok itu. Terbesit di hatinya seuntai doa agar keadaan seperti itu akan terus berlangsung sehingga kebahagiaan akan terus melingkupi desa yang ia cintai. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah Endang Sawitri di padepokan Ki Hajar Salokantara.“Sampurasun, ... permisi, Ki,” Endang Sawitri mengucap salam penuh takzim seraya mengetuk depan pintu gerbang padepokan. Belum ada jawaban dari dalam padepokan. Beberapa kali Endang Sawitri mengulangi ketukan dan salamnya. Belum juga ada jawaban. Untuk keenam kalinya Endang Sawitri mengulangi salam dan ketukan ke pintu gerbang padepokan, kali ini suaranya agak nyaring. Akhirnya, Endang Sawitri mendengar suara langkah dan jawaban dari dalam padepokan.“Rampes, ... tunggu sebentar, Ki Sanak,” sahut seorang laki-laki menjawab salam Endang gerbang berderit dan terbuka. Dengan mengulas senyum penuh hormat, Endang Sawitri 8membungkuk memberi hormat kepada lelaki yang membuka pintu gerbang padepokan itu. Tanpa menunggu lama, Endang Sawitri segera memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya ke padepokan Ki Hajar Salokantara. Lelaki bertubuh gempal dan berkulit hitam yang membuka pintu gerbang ternyata murid Ki Hajar Salokantara. Dengan sopan, lelaki tersebut mempersilakan Endang Sawitri masuk padepokan. Lelaki itu mempersilakan Endang Sawitri duduk di pendapa padepokan, sementara ia menuntun dan menambatkan kuda Endang Sawitri di tempat penambatan kuda tamu di padepokan itu. Endang Sawitri duduk dengan sopan di pendapa padepokan itu. Lelaki bertubuh gempal tadi berlari ke dalam sepertinya hendak memberitahukan kepada sang resi ada seorang tamu yang Sawitri memandang sekeliling pendapa yang terlihat cukup luas dan bersih tersebut. Terlihat gebyok kayu jati yang dihias ukiran menawan. Di sudut-sudut pendapa terlihat bokor-bokor yang terbuat dari kuningan dengan beberapa tombak yang runcing. Ada pula seperangkat gamelan tertata rapi di salah satu bagian pendapa itu. Endang Sawitri meyakini bahwa si pemilik padepokan pastilah orang sakti yang halus dan mencintai budaya. Bola mata cantiknya berputar-putar menjelajah seluruh isi di pendapa padepokan dengan 9senyum tipis tersungging di bibirnya. Dengan manggut-manggut ia bergumam.“Hmmmmm, pasti resi sahabat ayahanda ini adalah orang yang berbudaya tinggi dan bijaksana. Kalau tidak, mana mungkin pendapa padepokan serapi dan sebagus ini,” gumamnya sambil masih manggut-manggut dan menelisik semua sudut di pendapa selesai Endang Sawitri mengagumi pendapa padepokan milik Ki Hajar Salokantara, ia dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki bertubuh kurus dan berpakaian sorjan Jawa lengkap dengan ikat kepala berwarna hitam. “Silakan dinikmati teh dan makanannya, Kisanak. Mohon ditunggu sebentar. Eyang Guru baru dipanggil oleh Driya, teman saya,” kata lelaki itu sopan. Endang Sawitri terlihat kikuk karena kesopanan lelaki kurus yang merupakan juru masak di padepokan itu.“Iya, terima kasih, Kisanak,” jawab Endang Sawitri seraya duduk kembali di lantai pendapa. Sang juru masak menghidangkan seteko teh hangat dan makanan kepada Endang Sawitri. “Silakan, Kisanak,” kata sang juru masak sembari pamit hendak melanjutkan pekerjaannya di dapur. Beberapa saat kemudian, dari dalam padepokan muncullah seorang lelaki setengah baya yang bertubuh 10tinggi tegap, berjubah hitam, dan mengenakan ikat kepala berwarna hitam. Senyum penuh karisma milik lelaki berjenggot panjang yang berwarna putih itu membuat Endang Sawitri terkesiap dan bangkit memberi hormat.“Sampurasun, Ki. Perkenalkan, saya Endang Sawitri, putri dari Kepala Desa Ngasem,” hormat Endang Sawitri memberi salam.“Rampes, putri ayu. Rupanya putri Kakang Sela Gondang ini telah menjelma menjadi gadis yang cantik,” sambut lelaki yang tak lain adalah Ki Hajar Salokantara.“Ada angin apa Kakang Sela Gondang mengutusmu kemari, cah ayu?” tanya sang Resi penuh wibawa.“Tidak biasanya Kakang Sela Gondhang mengutus putrinya. Biasanya Kakang Sela mengutus perangkatnya ke sini,” lanjut sang resi sambil mengelus-elus jenggot putihnya.“Begini, Ki. Di Desa Ngasem akan diadakan merti desa. Ayahanda sebagai kepala desa memiliki niat mengadakan pesta rakyat. Sebagai salah satu syarat tolak bala, dibutuhkan sesaji dan ubarampe merti desa. Salah satunya adalah pusaka sakti milik Ki Hajar Salokantara. Untuk itu, ayahanda mengutus saya datang kemari untuk meminjam pusaka sakti tersebut,” jelas Endang Sawitri. Sang Resi manggut-manggut 11mendengarkan penjelasan gadis berkulit kuning langsat, berkemben biru, dan bersanggul kecil nan anggun di hadapannya itu. Setelah beberapa lama terdiam, sang resi masuk ke padepokan, sementara Endang Sawitri menunggu di pendapa sambil menikmati hidangan yang disajikan juru masak padepokan. Beberapa saat kemudian, sang Resi keluar lagi dengan membawa sebuah benda yang dibungkus dengan sarung berwarna cokelat yang 12sudah terlihat usang. Sang Resi menimang-nimang benda tersebut dengan saksama. Sejurus kemudian, ia membuka selubung kain usang tersebut. Ternyata, benda yang dibawanya adalah sebilah keris yang masih berwarangka. Dengan hati-hati sang Resi mencabut keris dari warangkanya.“Pusaka ini merupakan keris sakti yang memiliki nilai yang tinggi, Ni Ayu,” kata Ki Hajar sembari memegang dan mengamati keris pusakanya tersebut. Bola mata Endang Sawitri yang bulat keabu-abuan terbelalak takjub melihat keris yang dibawa sang Resi. Sungguh ia tidak mampu menyembunyikan ketakjubannya akan pusaka sakti yang terlihat kokoh tersebut. “Ni Ayu, keris ini bukanlah pusaka sembarangan. Kalau ayahandamu bukanlah sahabat baikku, tentu aku tidak akan pernah meminjamkan keris ini kepadanya,” lanjut sang Resi. Endang Sawitri masih terpana. “Bawalah pusaka ini kepada ayahandamu, Ni Ayu. Namun, ada hal penting yang harus kau perhatikan ketika membawa pusaka sakti ini,” kata sang Resi seraya memasukkan kembali keris ke dalam warangkanya. Keris itu kemudian diselubungi dengan kain cokelat yang usang. “Mohon maaf, apakah Ni Ayu, dalam keadaan suci?” tanya Ki Hajar Salokantara menyelidik. 13“Maksud Ki Hajar?” tanya Endang Sawitri terlihat kebingungan dengan pertanyaan sang Resi.“Apakah kau sedang datang bulan?” jelas Ki Hajar lagi.“Tidak, Ki. Saya masih dalam keadaan jiwa dan raga yang bersih,” jawab Endang Sawitri sembari menyungging senyum manisnya.“Syukurlah, kalau demikian. Bawalah pusaka ini dengan hati-hati. Ingatlah satu hal. Jangan sekali-kali meletakkan pusaka sakti ini di atas pangkuanmu,” kata sang Resi berpetuah seraya menyerahkan pusaka sakti kepada Endang Sawitri.“Baik, Ki. Amanat Ki Hajar Salokantara akan saya ingat dengan baik,” jawab Endang Sawitri berjongkok dan menunduk sambil mengulurkan kedua tangan menerima pusaka sakti menerima pusaka sakti yang dibutuhkan ayahandanya, Endang Sawitri berpamitan kepada Ki Hajar Salokantara. Dengan gesit ia menunggangi kuda, menarik tali kekangnya, dan memacu si kuda dengan sangat hati-hati. Dalam perjalanan pulang ke Desa Ngasem, Endang Sawitri merasa sangat lelah dan mengantuk. Setibanya di kaki gunung, ia memutuskan berhenti dan mencari tempat yang sejuk untuk melepas lelah dan kantuknya. 14Ia beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Angin semilir membuai Endang Sawitri hingga ia tertidur pulas. Karena merasa kelelahan, Endang Sawitri lupa akan pesan sang Resi. Ia meletakkan pusaka sakti itu di atas dalam tidurnya, ia bermimpi datang ke sebuah istana yang sangat megah. Tidak seperti lazimnya istana yang dijaga ketat, pintu gerbang istana terbuka sendiri seolah mempersilakannya masuk. Tidak ada penjaga berpakaian baja dan menghunus tombak di pintu gerbang, tidak ada sepasukan penjaga yang siap menginterogasi penyelundup yang masuk, bahkan tidak ada prajurit yang lalu-lalang melakukan penjagaan ketat di istana nan megah itu. Endang Sawitri sangat takjub melihat pemandangan di dalam istana itu. Ada kolam ikan yang dihiasi air mancur dan bunga warna-warni, ada sebuah taman dengan beraneka macam permainan, bahkan di sudut istana ada beberapa ekor kuda bersayap yang berwarna putih bersih. “Tempat apa ini?” gumamnya dalam hati. Ia sangat terpukau tatkala langkah kakinya menuju ke arah dalam istana itu. Terdapat sebuah singgasana besar bertatahkan emas dan permata. Balairung luas berkilauan dihiasi kristal-kristal mutu manikam, sebuah permadani tebal, bersih, empuk berwarna merah 15terhampar di sepanjang jalan menuju singgasana tersebut. Namun, anehnya, mengapa tidak ada satu pun orang di tempat itu. Hanya gemericik air di kolam dan cicit burung bersahut-sahutan diiringi syahdunya suasana di istana itu. Tidak beberapa lama, ia dikejutkan oleh tepukan lembut di pundak kirinya. Ia menoleh pelan dengan sedikit gemetar. Alangkah terpukaunya ia melihat seorang lelaki berparas tampan di depannya. Tanpa bicara, lelaki tampan tersebut memberikan sebilah keris kepada Endang Sawitri. Tiba-tiba sosok lelaki tampan itu hilang bagai ditelan bumi. Endang Sawitri masih sangat bingung dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Ia mencari-cari sosok pemuda tampan yang memberinya sebilah keris itu di seluruh sudut balairung istana, tetapi sosok tersebut tidak ada. Endang Sawitri memandangi keris yang kini dipegangnya dengan perasaan gundah dan tangan bergetar. Belum hilang keterkejutannya, Endang Sawitri terbangun dari tidurnya. “Aduhai, ternyata aku hanya bermimpi,” gumamnya sambil tersenyum. Gemeresik dedaunan di kaki Gunung Telomoyo bagai alunan harmoni indah yang mampu membangkitkan semangatnya melanjutkan kembali perjalanan pulang ke Desa Ngasem. Namun, alangkah terkejut ia ketika mendapati pusaka sakti yang dipinjam 16dari Ki Hajar Salokantara raib. Ia cari di sekitar tempatnya beristirahat bahkan di balik pelana kudanya, tetapi pusaka itu tidak ada. Ia baru teringat bahwa ia telah melanggar amanah dari sang Resi. Ia meletakkan pusaka sakti itu di atas pangkuannya. Endang Sawitri dilanda rasa gundah dan dilema. Ia merasa sangat bingung apa yang harus dilakukan. Kalau ia kembali ke padepokan, tentu sang Resi akan sangat marah karena ia melalaikan pesan sang Resi. Kalau memutuskan kembali ke Desa Ngasem, ia tidak tahu bagaimana dengan acara merti desanya dan sedekah bumi itu. “Ya, Dewata, Sang Hyang Widi Wasa, alangkah cerobohnya aku. Aku lalai, ya, Dewata,” rutuknya menyesali kelalaiannya sembari menangis tersedu-sedu.“Mungkin inilah jawaban dari keraguan Ibunda kepadaku,” katanya lagi merutuki nasibnya.“Namun, aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Aku harus menyampaikan hal ini kepada Ayahanda. Apa pun yang terjadi aku harus pulang,” lanjutnya sambil menuntun kudanya melewati tegalan. Dengan hati gundah dan langkah gontai ia akhirnya memutuskan pulang ke Desa Ngasem. Ia akan menceritakan pengalamannya tersebut dan siap dengan 17segala kemungkinan yang akan dihadapinya, termasuk kemarahan di Desa Ngasem, Endang Sawitri disambut oleh warga desa dan kedua orang tuanya, Ki Sela Gondhang dan Nyi Mentik Bestari. Betapa bingung kedua orang tua Endang Sawitri tatkala mendapati sang putri bersimpuh seraya menangis tersedu-sedu di kaki mereka. Mereka berdua memapah sang putri ke serambi balai Desa Ngasem dibantu warga desa. Endang Sawitri masih terus menangis. Dengan sabar Nyi Mentik Bestari memeluk dan mengelus rambut putri semata wayangnya itu. Setelah tangis Endang Sawitri reda, Ki Sela Gondhang menanyai putrinya itu dengan hati-hati.“Nduk, cah ayu, apa gerangan yang membuatmu seperti ini? Bagaimana perjalananmu meminjam pusaka dari sahabat ayah, Ki Hajar Salokantara?” tanya Ki Sela Gondhang seraya mengelus pipi sang putri penuh kasih sayang. “Am ... ampun, Ayah. Sa ... sa ... saya ... lalai,” jawab Endang terbata-bata. Sang ibu kembali memeluk Endang Sawitri. Hal ini membuat Endang Sawitri menjadi lebih tenang. “Sudahlah, Nduk. Semua ini kehendak Sang Dewata. Pantas saja ibu merasa khawatir dengan 18keberangkatanmu ini,” kata sang ibu sembari membelai rambut sang merasa lebih tenang, Endang Sawitri mulai menceritakan semua peristiwa yang dialaminya termasuk mimpinya kepada sang ayah. Kekecewan Ki Sela Gondhang tidak dapat disembunyikan. Akan tetapi, rasa sayang terhadap sang putri mengalahkan rasa kecewa yang berkecamuk itu. Dengan bijaksana Ki Sela Gondhang berkata untuk menenangkan sang putri.“Sudahlah, anakku. Semua sudah takdir dari Sang Hyang Widi Wasa. Sekarang beristirahatlah, ayah akan menemui Ki Hajar Salokantara untuk mencari jalan keluar dari masalah ini,” kata Ki Sela Gondhang dengan tatapan sayang kepada sang putri.“Lalu, bagaimana dengan merti desa, Ayah?” tanya Endang Sawitri gundah.“Kau tidak usah risau memikirkan hal itu, Nak. Biarkan ayah yang menjelaskan kepada warga desa untuk menunda pesta rakyat desa kita ini,” tukas sang ayah seraya membelai rambut Endang Sawitri yang masih memeluk erat sang ibu. Hari itu juga Ki Sela Gondhang berangkat menuju padepokan Ki Hajar Salokantara untuk mendapatkan jalan keluar. Singkat cerita, sang Resi hanya terdiam sejenak mendengar penuturan ayah Endang Sawitri itu. 19Ia berkata bahwa sebentar lagi Endang Sawitri akan akan mengandung. “Sahabatku, adhi Sela Gondang. Aku sudah mengingatkan putrimu untuk menjaga baik-baik keris itu. Namun, mungkin ini memanglah takdir dari Sang Dewata,” dengus Ki Hajar Salokantara sembari mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.“Iya, Kakang Salokantara. Aku tahu putriku lalai akan pesanmu. Aku mohon maafkanlah ia, Kakang,” sergah Ki Sela Gondang.“Adhi Sela Gondang, aku sudah memaafkan putrimu. Sebenarnya ...,” kata sang Resi terputus sambil menghela napasnya panjang.“Sebenarnya apa, Kakang?” tanya Ki Sela Gondang seolah tidak sabar mengetahui kelanjutan ucapan Ki Hajar Salokantara.“Sebenarnya, pusaka itu tidak hilang, tetapi masuk ke dalam rahim putrimu. Sebentar lagi putrimu akan mengandung, Adhi,” jawab Ki Hajar disambar petir di siang hari, Ki Sela Gondhang terkejut luar biasa mendengar ucapan Ki Hajar Salokantara tersebut. Dengan panik ia memohon sahabatnya tersebut untuk mencarikan jalan keluar agar keluarganya terhindar dari aib. 20“Ya, Dewata, dosa apa hamba ini sampai harus menanggung malu semacam ini?” jerit Ki Sela Gondang sambil memegangi kepalanya.“Kakang Salokantara, apakah ada cara agar putriku lepas dari kutukan ini?” tanya Ki Sela Gondang panik. “Kakang, tolonglah, Kakang. Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan putri dan keluargaku dari aib, Kakang?” kata Ki Sela Gondang setengah merengek. Ki Hajar Salokantara hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa iba kepada sahabatnya itu. Namun, ia tidak dapat membantu apa lelaki yang bersahabat lama itu sama-sama terdiam. Tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba Ki Sela Gondang berkata, ”Kakang, bagaimana jikalau engkau menikahi putriku, Endang Sawitri? Siapa tahu kutuk yang bersemayam di tubuhnya akan hilang,” kata Ki Sela Gondang menatap Ki Hajar Salokantara penuh Hajar Salokantara diam sejenak. Ki Sela Gondang terus membujuk sang sahabat agar mau mengiyakan gagasannya untuk menikahi Endang Sawitri. Karena melihat kepanikan Ki Sela Gondang yang teramat sangat, akhirnya Ki Hajar Salokantara bersedia menikahi Endang Sawitri. Pernikahan mereka sengaja ditutupi dari penduduk desa. “Baiklah, adhi Sela Gondang. Aku 21bersedia menikahi putrimu. Akan tetapi, pernikahan ini hanyalah untuk menutupi aib saja. Setelah janin di dalam kandungan putrimu lahir, pernikahan ini berakhir,” kata Ki Hajar Salokantara. “Terserah kau saja, Kakang,” tukas Ki Sela Gondang. “Terima kasih, kau sudah mau membantuku, Kakang,” lanjut Ki Sela lagi. Singkat cerita, pernikahan Ki Hajar Salokantara dan Endang Sawitri sengaja ditutupi dari penduduk desa. Tidak ada meriahnya pesta dan beraneka macam tarian serta hiburan. Pernikahan itu berlangsung khidmat dan mengharukan. Nyai Sela Gondang menangis tidak kuasa menahan sedih dan haru. Ia peluk putrinya yang telah sah menjadi istri Ki Hajar Salokantara. Endang Sawitri pun menangis tersedu-sedu di hadapan penghulu dan kedua orang tuanya.“Maafkan saya, Ayahanda dan Ibu,” isak Endang Sawitri.“Sudahlah, Nak. Sekarang kau telah menjadi istri Ki Hajar Salokantara. Kau harus mengikuti suamimu dan menaati perintahnya,” belai sang ibu dengan berjuta kasih sayang yang itu, Ki Hajar Salokantara dan Ki Sela Gondang terlibat pembicaraan di sudut lain rumah Ki Sela Gondang. 22“Adhi, kau jangan khawatir. Meskipun putrimu telah menjadi istriku, aku tidak akan menyentuhnya. Namun, aku akan tetap menyayanginya,” kata Ki Hajar Salokantara.“Aku pasrahkan putriku kepadamu, Kakang,” jawab Ki Sela Gondang menepuk pundak Ki Hajar Salokantara.“Maafkan aku, Adhi. Mungkin setelah kuboyong ke tempat tinggal yang sudah kusiapkan, aku akan meninggalkan putrimu dan janin yang di kandungnya untuk bertapa. Aku akan memohon Sang Hyang Widi Wasa melepaskan kutukan itu,” tukas Ki Hajar Salokantara.“Sudahlah, Kakang. Aku tidak tahu harus berterima kasih seperti apa kepadamu atas segala kebaikanmu padaku dan keluargaku,” jawab Ki Sela Gondang sambil memeluk sahabat lama yang kini harus menjadi menantunya tersebut. Setelah acara pernikahan usai, Ki Hajar Salokantara berniat memboyong Endang Sawitri ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan sebagai tempat tinggal. Dengan perasaan hancur, Nyi Mentik Bestari melepas kepergian putri kesayangannya diboyong oleh Ki Hajar Salokantara. Tidak seperti pasangan lain yang baru saja menikah, Ki Hajar Salokantara memutuskan untuk pergi bertapa mencoba melepaskan Endang Sawitri dari 24kutukan pusaka sakti miliknya. Sebelum pergi, Ki Hajar Salokantara berpesan kepada istrinya. “Ni Ayu Endang Sawitri, aku menikahimu hanya sebagai syarat saja, aku tidak akan menyentuhmu. Aku harus pergi bertapa untuk melepaskanmu dari kutuk pusaka sakti milikku itu. Jagalah dirimu dan kandunganmu. Apabila kelak kau melahirkan, kalungkanlah klinthingan ini sebagai bukti bahwa anak itu adalah anakmu. Suruhlah ia mencariku untuk melepaskan kutukannya,” pesan Ki Hajar Salokantara kepada Endang Sawitri.“Iya, Ki. Semoga Dewata melindungi Ki Hajar, saya, dan jabang bayi dalam kandungan saya ini. Hati-hati, Ki,” jawab Endang Sawitri mencium tangan suaminya dan melepas kepergiannya untuk bertapa.***Hari demi hari berlalu dengan cepat, kandungan Endang Sawitri pun bertambah besar. Ia sangat berhati-hati menjaga kandungannya itu. Ia menggantungkan hidupnya dari hasil mencari ikan di sungai dan bertanam sayur-mayur di pekarangan gubuknya. Dekat dengan gubuk tempat tinggalnya itu terdapat sebuah desa kecil yang jumlah penduduknya tidak seberapa. Untuk 25memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak jarang Endang Sawitri pergi ke desa ada satu pun penduduk desa kecil itu mengetahui bahwa Endang Sawitri memiliki seorang suami karena pernikahan mereka ditutup-tutupi. Namun, ada salah seorang penduduk desa yang mengenali Endang Sawitri yang sedang hamil tua itu. Akhirnya, sampailah kabar kehamilan Endang Sawitri tersebut ke Desa Ngasem. Penduduk Desa Ngasem pun geger karena mendengar kabar tersebut. Mereka menganggap Endang Sawitri telah mengotori Desa Ngasem dengan perbuatan yang tidak senonoh. Namun, Endang Sawitri bergeming dengan umpatan para penduduk yang penuh kata-kata kasar. Ia tetap merawat kandungannya meskipun pada akhirnya ia dikucilkan oleh warga Desa Ngasem dan desa kecil di dekat tempat tinggalnya. Ia berkeyakinan tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak baik. Yang membuatnya risau adalah nama baik kedua orang tuanya yang merupakan tetua di Desa Ngasem. Namun, persoalan itu tidak berlangsung lama karena Ki Sela Gondhang berhasil menjelaskan kepada penduduk tentang keadaan yang setelah sembilan bulan mengandung, Endang Sawitri pun melahirkan. Tidak ada seorang 26pun di desa kecil di dekat tempat tinggalnya yang sudi menolongnya. Para penduduk desa masih menganggap Endang Sawitri merupakan perempuan yang tidak baik karena hamil tanpa didampingi suami. Mereka masih tidak memercayai penjelasan Ki Sela Gondhang, Kepala Desa Ngasem yang tak lain adalah ayah kandung Endang Sawitri. Tidak ada satu pun warga desa yang mengabarkan berita melahirkannya Endang Sawitri kepada warga Desa Ngasem, terlebih kepada keluarga Ki Sela Gondhang. Endang Sawitri pun melahirkan tanpa bantuan siapa pun. Namun, alangkah terkejut ia karena yang dilahirkannya bukanlah bayi, melainkan seekor ular naga. Anehnya lagi, ular naga itu dapat berbicara seperti halnya manusia. “Aaah, siapa kau? Mengapa aku melahirkan seekor ular naga?” teriak Endang Sawitri.“Ibu, ibu jangan takut. Aku adalah anak yang kaulahirkan. Ini kehendak Dewata, Ibu. Saya mohon Ibu jangan takut,” jawab ular naga itu sembari menyurukkan tubuhya kepada Endang Sawitri. Meskipun terkejut dan hatinya remuk redam, dengan belai lembut seorang ibu, Endang Sawitri menimang anaknya yang berwujud ular naga itu. Bayi ular naga itu pun diberi nama Baro Klinting. 27“Iya, engkau benar. Mungkin ini adalah ketentuan sang Dewata karena kelalaian ibu. Maafkan, ibu, Nak. Ibu teringat pesan ayahandamu yang menitipkan klinthingan ada ibu. Untuk itu, ibu namakan kau Baro Klinting,” kata Endang Sawitri penuh lahirnya anak Endang Sawitri diketahui oleh beberapa penduduk desa yang kebetulan lewat di gubuk Endang Sawitri ketika hendak pergi ke sawah dan ladang. Ketika mendapati anak yang dilahirkan Endang Sawitri adalah seekor naga, sontak saja beberapa orang penduduk itu berlarian karena takut.“Tolooong, ada naga. Perempuan itu melahirkan naga. Tolooong,” teriak orang-orang itu berlarian menuju ke desa. Teriakan orang-orang itu didengar oleh seluruh penduduk di desa dekat gubuk Endang Sawitri.“Hati-hati, perempuan itu pasti penyihir. Ia melahirkan seekor naga. Desa kita dalam bahaya,” kata salah seorang penduduk.“Iya, ini genting. Kita usir saja perempuan itu dari desa ini. Saya takut kalau desa ini akan dihancurkan oleh perempuan penyihir dan naga yang dilahirkannya itu,” sahut yang lain.“Iya, kita usir saja perempuan itu, usiiirr,” teriak penduduk desa yang lain bersahutan. 28Peristiwa itu dianggap peristiwa aneh yang menjadi ancaman bagi penduduk desa. Para penduduk desa kecil di dekat tempat tinggalnya makin mencibir Endang Sawitri. Mereka makin yakin kalau Endang Sawitri adalah perempuan yang tidak baik. Mereka bersepakat hendak mengusir Endang Sawitri dan anaknya yang berwujud ular naga itu karena khawatir keberadaan mereka akan mengundang murka Dewata. Namun, untungnya hal tersebut berhasil dicegah oleh salah seorang penduduk desa yang mengenal Ki Sela Gondhang. Orang itu meyakini bahwa keberadaan Endang Sawitri dan anaknya tidak akan membahayakan. Ia akan menjamin jika terjadi apa-apa, ia yang akan melapor kepada Ki Sela Gondhang, ayah Endang akhirnya Endang Sawitri membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang meskipun sendirian tanpa ada orang yang sudi membantu. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Waktu terus berjalan, Baro Klinting yang sudah menginjak masa remaja bertanya kepada ibunya, apakah ia mempunyai ayah. “Ibu, apakah aku memiliki ayah?” tanya Baro Klinting penuh tanya. Endang Sawitri menjawab dengan deraian air mata. “Tentu, Nak,” jawabnya sembari menyeka pipi yang dibanjiri oleh air mata yang mulai menganak sungai. 29“Lalu, di mana ayah sekarang? Mengapa ayah tidak tinggal dengan kita, Bu?” cecar Baro Klinting.“Baro Klinting, Anakku. Dengarlah, Nak. Ayahmu adalah seorang lelaki hebat dan sakti. Kini ayahmu sedang bertapa di Gunung Telomoyo untuk melepaskan kita dari kutuk pusaka, Nak,” jelas Endang Sawitri seraya menunjuk arah Gunung Telomoyo tempat Ki Hajar Salokantara bertapa. Baro Klinting mengernyitkan sepasang alisnya yang tebal. Dengan didorong rasa penasaran yang amat sangat dan jutaan tanya berjejal di kepalanya, ia melata melingkari tubuh ibunya.“Kutuk pusaka? Maksud Ibu apa?” selidik Baro Klinting.“Nanti, kau akan mengerti jika waktunya telah tiba, Anakku,” jawab sang ibu seraya memeluk anaknya yang berwujud ular naga Klinting tidak melanjutkan pertanyaannya pada sang ibu. Ia tidak ingin membuat ibunya makin sedih. Namun, rasa penasaran di dalam benaknya sungguh kuat sehingga akhirnya ia menyatakan keinginannya untuk mencari sosok sang ayah. Dengan hati-hati ia berkata kepada ibunya.“Ibu, bolehkah Baro memohon izin kepada Ibu untuk mencari ayahanda?” tanya Baro Klinting. 30Endang Sawitri memandang lekat-lekat mata naga di hadapannya. Ia terdiam sesaat, lalu menunduk.“Ibu tidak mengizinkan Baro?” tanya Baro Klinting lagi dengan hati-hati. Ia sangat takut melukai perasaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Endang Sawitri mendengus panjang dan berucap dengan lembut.“Pergilah, Nak. Ibu mengizinkanmu. Kau sudah cukup besar untuk melakukan perjalanan mencari ayahmu. Akan tetapi, ingatlah untuk selalu waspada dan berhati-hati. Di luar sana banyak sekali bahaya yang bisa saja mencelakaimu, Anakku,” kata Endang Sawitri sembari mengelus kepala naga itu.“Terima kasih, Ibu. Baro akan selalu mengingat pesan Ibu,” sahut Baro Klinting gembira.“Baro, berangkatlah ketika hari sudah gelap agar keberadaanmu tidak membuat warga desa itu ketakutan. Pakailah klinthingan ini sebagai bekalmu, Nak,” kata Endang Sawitri sembari mengalungkan kalung berliontin lonceng kecil yang berbunyi nyaring apabila digoyang-goyangkan.“Ampun, Ibu. Untuk apa klinthingan ini?” tanya Baro Klinting penasaran.“Klinthingan ini adalah amanat dari ayahmu, Nak. Beliau berpesan agar mengalungkan benda ini di 31lehermu sebagai penanda bahwa kau benar-benar anak ibu,” tukas Endang Sawitri. “Semoga Sang Hyang Widi Wasa senantiasa menyertai perjalananmu, Nak. Ingat pesan ibu,” lanjutnya lagi. 32“Baik, Ibu. Pesan Ibu akan Baro laksanakan. Doakan Baro dapat bertemu dengan ayahanda,” ujar Baro Klinting Baro Klinting tidak tega meninggalkan sang ibu sendirian di gubuk itu. Namun, rasa penasaran akan sosok sang ayah membuatnya bertekad bulat untuk pergi mencari ayahnya tersebut. Dengan hati sedih Baro Klinting berangkat meninggalkan ibunya menuju ke pertapaan Ki Hajar Salokantara, yaitu sebuah gua di lereng Gunung Telomoyo. Ia berangkat ketika hari sudah gelap. Dengan penuh semangat Baro Klinting melata melewati jalan terjal yang penuh aral dan perjalanannya Baro Klinting sempat bertemu beberapa halangan. Banyak sekali makhluk astral yang mengganggunya. Suara klintingan di leher Baro Klinting rupanya menarik perhatian para makhluk untuk mengganggunya. Para makhluk itu berusaha merebut klinthingan tersebut. Namun, dengan kesaktian yang menitis padanya, Baro Klinting sanggup mengusir dan mengalahkan para makhluk yang mencoba menghambat perjalanannya. Ia selalu teringat pesan ibunya untuk selalu ingat pada Dewata, pemilik alam semesta. Ia yakin doa sang Ibu adalah senjata terampuh untuk keselamatannya. 33Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah Baro Klinting di tempat yang dimaksud oleh ibunya. Ia melihat sebuah gua yang mulutnya tertutup rimbunan tanaman menjalar. Dengan hati-hati Baro Klinting menerobos masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap itu. Dengan sorot matanya yang tajam ia selusuri semua relung yang ada di dalam gua tersebut. Tetesan air yang mengalir dari dinding gua mencipta sebuah denting yang indah. Ornamen gua berupa stalaktit dan stalakmit menambah kemegahan isi gua. Baro Klinting terus menerobos masuk ke dalam gua dan akhirnya ia mendapati sebuah ruang yang agak luas. Di tengahnya terdapat sebuah batu besar yang dikelilingi genangan air. Samar-samar ia melihat sesosok manusia yang sedang duduk bertapa dengan sikap semadi yang sempurna di atas batu besar itu. Ia terus melata mengamati sosok tersebut dengan saksama. Setelah beberapa lama mengamati, Baro Klinting yakin sosok tersebut adalah Ki Hajar Salokantara, santun dan penuh hormat, Baro Klinting mengucapkan salam. “Permisi, sampurasun, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” tanya Baro Klinting dengan sangat hati-hati. Lama tidak terdengar jawaban. Baro Klinting mengulangi kembali salamnya 34dengan hati-hati. Tidak lama kemudian sosok tersebut menjawab, “Ya, benar, akulah Ki Hajar Salokantara. Siapa Ki Sanak ini? Ada perlu apa Ki Sanak datang ke tempat ini dan mengganggu semadiku?” tanya Ki Hajar Salokantara dengan suara berat penuh kewibawaan.. Betapa girang hati Baro Klinting mendapati sosok yang selama ini dirindukannya. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar Salokantara, Baro Klinting berkata, “Ampun, Tuan, saya Baro Klinting, anak Endang Sawitri dari Desa Ngasem” jawab Baro Klinting.“Desa Ngasem? Endang Sawitri? Mungkinkah ia ini anakku?” gumam Ki Hajar Salokantara. Perlahan Ki Hajar Salokantara membuka matanya dan menatap Baro Klinting. Alangkah terkejutnya Ki Hajar karena yang sedang berada di hadapannya adalah seekor ular naga. Belum hilang keterkejutan Ki Hajar Salokantara, Baro Klinting berujar bahwa ia sedang mencari ayah kandungnya yang sedang bertapa. Awalnya, Ki Hajar ragu. Akan tetapi, dengan bukti klinthingan yang dipakai Baro Klinting, Ki Hajar dapat mengenali bahwa ular naga itu mungkin benar anaknya. Namun, dia masih menaruh curiga terhadap ular naga yang mengaku sebagai anak Endang Sawitri, jelmaan pusaka sakti miliknya. Ki Hajar menghendaki bukti satu 35lagi kalau memang ular itu benar-benar anaknya. Ia menyuruh Baro Klinting melingkari Gunung Telomoyo.“Baik, aku mengenali klinthingan yang ada di lehermu itu. Mungkin kau memang benar anak Endang Sawitri. Namun, aku menghendaki satu bukti lagi agar aku yakin bahwa kau tidak berbohong,” tukas Ki Hajar Salokantara kepada Baro Klinting. 36“Bukti apa yang harus saya tunjukkan agar Ayah yakin bahwa saya ini adalah anak Ayah?” tanya Baro Klinting heran.“Aku ingin engkau melingkari Gunung Telomoyo ini dengan tubuhmu. Apabila engkau sanggup melingkarinya berarti engkau memanglah anakku. Akan tetapi, jika kau gagal melingkari Gunung Telomoyo ini berarti kau adalah pendusta,” lanjut Ki Hajar Salokantara lagi. “Baik, titah Ayah akan saya laksanakan,” jawab Baro Klinting cerita, demi membuktikan bahwa apa yang dikatakannya benar, Baro Klinting bergegas menuju kaki Gunung Telomoyo. Ia berusaha sekeras mungkin untuk dapat melilit kaki gunung dengan tubuhnya. Namun, hampir saja ekor dan kepalanya tidak dapat menyatu. Baro Klinting mulai panik, tetapi ia tidak kehilangan akal. Ia menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ekornya. Dengan izin sang Dewata, Baro Klinting dapat melingkari Gunung Telomoyo sesuai permintaan Ki Hajar Salokantara. Akhirnya, Ki Hajar mengakui Baro Klinting sebagai anak kandungnya yang selama ini ditinggalkannya Hajar Salokantara kemudian memerintahkan Baro Klinting untuk bertapa dengan cara melingkarkan tubuhnya pada Gunung Telomoyo. Hal itu dilakukan 38agar kutuk ular naga yang disandang anaknya dapat segera hilang dan Baro Klinting dapat berubah wujud menjadi manusia seutuhnya. Dengan penuh kepatuhan, Baro Klinting menuruti perintah ayah kandung yang telah lama dirindukannya.***Di belahan lain lereng Gunung Telomoyo terdapat sebuah desa yang bernama Desa Pathok. Suatu hari penduduk Desa Pathok, desa di kaki Gunung Telomoyo, akan mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu, para pemuda desa beramai-ramai mencari daging binatang di hutan. Daging itu nantinya dimasak dan dijadikan santapan pesta. Namun, mereka tidak mendapatkan seekor binatang pun di hutan. Karena merasa kesal dan putus asa, mereka memutuskan untuk kembali ke desa. Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat di kaki Gunung Telomoyo itu. Salah seorang dari rombongan pemuda desa itu menancapkan golok ke tanah tebing di sekitar tempat mereka melepas lelah. Alangkah terkejutnya pemuda itu karena dari tanah yang ditancapi golok itu keluar darah segar. Kejadian itu 39sontak membuat rombongan itu panik. Namun, karena penasaran, mereka juga menancapkan golok masing-masing ke tanah yang mengeluarkan darah tersebut. Ternyata, tanah tebing yang mereka tancapi golok adalah tubuh seekor ular naga yang sedang melilit kaki Gunung Telomoyo. Pucuk dicinta ulam pun tiba, para pemuda merasa gembira karena telah menemukan daging binatang untuk dijadikan santapan pesta rakyat di Desa Pathok. Singkat cerita, pesta panen rakyat pun digelar. Daging ular yang dibawa para pemuda sudah menjadi aneka hidangan di pesta itu. Penduduk desa bersorak-sorai, berdendang, dan menari diiringi musik tradisional yang gegap gempita. Di tengah-tengah acara pesta itu, tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki yang tidak lain merupakan jelmaan Baro Klinting. Anak laki-laki itu berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis. Anak itu meminta makanan kepada penduduk desa. Namun, tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci-maki anak tersebut. Namun, anak itu bergeming dan tetap memaksa meminta makanan dan 40minuman pada penduduk desa yang sedang berpesta anak itu disuruh keluar dari arena pesta itu. Dengan menangis dan sakit hati yang teramat sangat, anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia berjalan tanpa tujuan sambil terus menangis. Akhirnya ia tiba di sebuah gubuk yang ternyata rumah seorang janda tua bernama Nyai Latung. Di depan rumah reyot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung. “Nenek!” panggil anak itu. “Saya haus. Boleh minta air, Nek?” Nyai Latung memandang anak laki-laki kumal yang berdiri di hadapannya. Ketika Nyai Latung melihat keadaan anak yang menangis dengan tubuh penuh kudis dan berbau amis, hati Nyai Latung merasa iba. Segera Nyai Latung masuk ke dalam rumahnya seraya mengambil air untuk anak itu. “Ini, Nak, airnya. Minumlah!” kata Nyai Latung lembut. Dengan cepat anak itu meneguk air minum. Nyai Latung terus memandangi anak itu dengan iba. “Mau air lagi? Apakah kau lapar, Nak? Tetapi, Nenek hanya punya nasi, tidak ada lauk,” tanya Nyai Latung.“Mau, Nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu. 41Nyai Latung bergegas masuk lagi ke dalam rumah dan mengambilkan nasi disertai sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu. Anak kecil itu makan dengan lahap hingga tidak sebutir nasi pun tersisa.“Siapa namamu, Nak? Di mana ayah ibumu?” tanya Nyai Latung sembari duduk mendekati anak itu.“Namaku Baro Klinting, Nek. Aku tidak tahu di mana ayah dan ibuku berada,” jawab Baro Klinting.“Ya, Dewata. Kalau begitu, kau tinggal saja di sini menemani nenek,” ajak Nyai Latung lagi.“Terima kasih, Nek. Saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, Nek. Hanya Nenek saja yang baik hati kepada saya.”Baro Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Setelah menceritakan semua pengalaman yang tidak mengenakkan tersebut, Baro Klinting pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung agar ketika mendengar bunyi kentongan, Nyai Latung naik ke atas lesung. “Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung itu. Nenek akan selamat,” kata Baro Klinting sambil menunjuk lesung yang ada di depan rumah Nyai Latung. Meskipun tidak mengerti maksud Baro Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja. 43Sesaat kemudian, Baro Klinting berlari dari rumah Nyai Latung dan kembali ke keramaian pesta. Ia mencoba lagi untuk meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk Desa Pathok. Namun, penduduk tetap menolak kehadiran anak itu. Baro Klinting yang marah berlari ke tengah-tengah arena pesta. Ia berdiri berkacak pinggang dan mengadakan sayembara. Ia menancapkan sebatang lidi ke tanah. Ia menantang barang siapa dapat mencabut lidi itu, ia adalah orang hebat. “Ayo, ... siapa yang bisa mencabut lidi ini?” tantang Baro orang menertawakan Baro Klinting. Mereka mengejek dan menganggap anak kecil itu sudah gila. “Ayo, ... siapa yang bisa mencabut lidi ini?” kembali Baro Klinting menantang penduduk desa. Penduduk desa makin marah dengan kelakuan Baro Klinting. Mereka hanya ingin Baro Klinting pergi dari desa mereka. Seorang lelaki tinggi besar maju menjadi orang pertama yang menerima tantangan Baro Klinting. Dengan badan besar yang kuat ia berusaha mencabut lidi yang tertancap. Namun, lidi itu tidak dapat tercabut. Justru lelaki itu terlempar hingga keluar dari arena pesta tempat lidi itu tertancap. 44Semua orang yang berkerumun di tempat Baro Klinting menancapkan lidi terperangah dengan kejadian tersebut. Mereka tidak habis pikir, bagaimana mungkin lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak sanggup mencabut lidi yang ringkih itu. Ajaib sekali lidi itu, pikir orang-orang tersebut.“Hai, kalian semua, lihatlah, kalian itu orang-orang yang sombong, tetapi tidak punya tenaga!” teriak Baro Klinting setelah melihat lelaki berbadan tinggi besar tidak mampu mencabut lidi yang penduduk desa merasa diremehkan. Mereka makin gusar pada anak kecil bertubuh kurus dan kumal itu. Seorang lelaki tinggi dan berkulit hitam legam maju ke arena dan berteriak garang.“Jangan meremehkan kami, anak dekil! Lihat ini, akan kucabut lidi itu dan kupatahkan di depanmu,” sentak lelaki itu sembari membelalakkan matanya kepada Baro Klinting yang berdiri berkacak pinggang.“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja kalau kau mampu,” tantang Baro Kinting tak kalah kejadian yang sama pun menimpa lelaki tersebut. Tubuh kurusnya terpental jauh keluar dari arena penancapan batang lidi itu. Satu per satu penduduk desa mencoba mencabut lidi yang ditancapkan oleh Baro Klinting. Makin mereka berusaha, lidi itu 46makin kuat tertancap di tanah. Tak ada yang berhasil mencabutnya. Mereka pun mengumpulkan penduduk yang berbadan lebih besar. Bersama-sama mereka mencoba mencabut. Akan tetapi, usaha mereka tetap tidak berhasil. “Kemampuan kalian tidak sebanding dengan kesombongan kalian!” ujar Baro Klinting menyaksikan kejadian itu. “Kalian akan membayar mahal kesombongan kalian!” lanjutnya dengan geram. “Perhatikan baik-baik ini!”Akhirnya, Baro Klinting berjalan mendekat ke batang lidi yang ia tancapkan tadi. Para penduduk desa mendekat. Mereka penasaran dengan apa yang akan terjadi. Mata Baro Klinting mengamati satu per satu penduduk yang mengerumuninya. Kemudian, ia memegang perlahan lidi yang tertancap kuat di tanah tersebut. Alangkah herannya penduduk desa. Hanya dengan menggunakan satu tangan, Baro Klinting perlahan dapat mencabut lidi, lalu keajaiban pun terjadi. Lubang bekas tancapan lidi tersebut menyemburkan air yang sangat deras. Semburan air makin lama makin deras dan menjadi air bah yang besar. Sontak kejadian itu membuat penduduk desa panik. Beberapa orang memukul kentongan sebagai tengara bahaya. 47Air bah mulai menggenangi Desa Pathok. Semua penduduk berlarian menyelamatkan diri. Di tempat lain Nyai Latung mendengar bunyi kentongan dari kejauhan. Ia merasa heran dengan datangnya air bah yang besar. Belum juga terjawab penasarannya, ia teringat pesan Baro Klinting untuk segera naik ke atas lesung. Dalam kungkungan rasa bingung, Nyai Latung menyaksikan air bah itu terus datang dan semakin tinggi menggenangi gubuk dan sekitarnya. Lesung yang dinaiki Nyai Latung terapung-apung. Air makin membesar dan dalam sekejap menggenangi Desa Pathok. Nyai Latung menyaksikan para tetangganya tenggelam. Kejadian itu terasa begitu cepat. Nyai Latung hanya tertegun dalam kebingungan yang teramat sangat. Setelah beberapa lama, lesung yang ditumpangi Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Mata tuanya masih tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Desa Pathok tempatnya tinggal selama ini tenggelam bersama seluruh penduduknya. Ia baru menyadari hanya ia yang selamat dari banjir bandang itu. Penduduk desa yang lain tewas tertelan air bah yang ia sendiri pun tidak tahu dari mana mulai mengingat-ingat kejadian sebelum bencana itu terjadi. Ia ingat sosok Baro Klinting. 48“Siapa Baro Klinting sebenarnya? Apakah ia adalah jelmaan Dewata yang murka dengan penduduk desa?” gumam Nyai Latung penuh tanya termangu ia memandangi air bah di hadapannya menjelma menjadi genangan luas berbentuk rawa-rawa. Mata tua Nyai Latung menyaksikan desanya tenggelam tidak bersisa dan berubah menjadi hamparan rawa yang luas. “Ah, betapa luas hamparan air rawa ini. Airnya bening sekali. Rawa berair bening, ya, itulah nama yang cocok untuk tempat ini,” gumam Nyai Latung Nyai Latung memutuskan tinggal di pinggir rawa tersebut. Ia menamakan desa yang tenggelam itu dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang membentuk rawa-rawa. Makin lama tempat itu makin ramai karena banyak pendatang yang menetap di daerah itu. Di sisi lain, Ki Hajar Salokantara telah percaya bahwa Baro Klinting adalah anaknya sebagai jelmaan dari pusaka sakti yang dimilikinya. Baro Klinting yang berubah wujud menjadi anak manusia itu telah terbebas dari kutukan. Ia menemui ayahnya di lereng Gunung Telomoyo. Mereka berdua pun pulang menemui Endang Sawitri.*** 49Biodata PenulisNama lengkap Tri Wahyuni, Telp kantor/ponsel 024 76744357/081369610009 Pos-el twahyuni99 Akun Facebook Yuni Nathansyah Alamat kantor Jalan Elang Raya Mangunharjo, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah Bidang keahlian Bahasa dan SastraRiwayat pekerjaan/profesi 10 tahun terakhir 1. 2005-2011 Staf Bidang Pengembangan, Kantor Bahasa Provinsi 2011-sekarang Staf Bidang Pembinaan Sastra, Balai Bahasa Jawa Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar S-1 Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Budaya Asing, Universitas Muhammadiyah Semarang 2000-2004 50Judul Buku dan Tahun Terbit 10 Tahun Terakhir 1. Kamus Dwibahasa Lampung—Indonesia 2009 2. Kamus Bahasa Indonesia—Jawa 20123. Kamus Bahasa Jawa Banyumasan—Indonesia 20134. Biogra Sastrawan Jawa Tengah dan Karyanya 20155. Legenda Jaka Tarub dalam Perbandingan 20156. Cerita Rakyat Kabupaten dan Kota Semarang 2015Judul Penelitian dan Tahun Terbit 10 tahun terakhir 1. Biogra Sastrawan Lampung Inggit Putria Marga bersama Ritanti Aji Cahyaningrum, 20052. Biogra Sastrawan Lampung Dahta Gautama 20063. Penerjemahan Buku Discourse Analysis Karya Henry G. Widdowson 20124. Ikhtisar Sastra di Jawa Tengah 2012Informasi Lain Lahir di Kendal, 22 Juni 1981. Menikah dan dikaruniai dua orang anak. Saat ini menetap di Kendal, Jawa Tengah. Aktif sebagai PNS di Balai Bahasa Jawa Tengah. Fokus perhatiannya adalah bidang leksikologi dan leksikogra. Terlibat di berbagai kegiatan di bidang pengembangan dan pembinaan bahasa di Jawa Tengah, beberapa kali menjadi narasumber di berbagai kegiatan pembinaan bahasa dan menjadi pemakalah pada beberapa seminar baik nasional maupun internasional. 51Biodata PenyuntingNama Dony Setiawan, donysetiawan1976 Keahlian PenyuntinganRiwayat Pekerjaan 1. Editor di penerbit buku ajar dan biro penerjemah paten di Jakarta,2. Kepala Subbidang Penghargaan, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan 1. S-1 1995—1999 Sastra Inggris Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 2. S-2 2007—2009 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri JakartaInformasi Lain Secara resmi sering ditugasi menyunting berbagai naskah, antara lain, modul diklat Lemhanas, Perpustakaan Nasional, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud serta terbitan Badan Bahasa Kemendikbud, seperti buku seri Penyuluhan Bahasa Indonesia dan buku-buku fasilitasi BIPA. 52Biodata IlustratorNama Rizqia SadidaPos-el rizqiasadida Keahlian Ilustrasi dan desainRiwayat Pekerjaan 1. Tahun 2013 sebagai Intern 2D Artist Nigtspade Game Developer 2. Tahun 2015—2016 sebagai Desainer Outsource di Penerbit Mizan 3. Tahun 2013—sekarang sebagai Desainer dan free-lance ilustratorJudul Buku yang Pernah Diilustrasi 1. My First Quran Story Mizania Kids 2. Kisah Kisah di Sekolah Gramedia BIP 3. Ilustrasi untuk cover buku Penerbit Mizania dan HaruInformasi Lain Lahir 19 Maret 1993, seniman pameran WWF Nasib Gajah 2015, menaruh minat pada ilustrasi dan literatur buku anak. Bekerja paruh waktu di Perumahan Permata Bekasi II Blok E Nomor 6, Duren Jaya, Bekasi Timur. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Biografi SastrawanBiografi Sastrawan Lampung Inggit Putria Marga bersama Ritanti Aji Cahyaningrum, 2005Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaPusat Kepala Subbidang PenghargaanPembinaanKepala Subbidang Penghargaan, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Pada kesempatan kali ini akan membuat artikel mengenai Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, dan Cerita Singkat, yuk sama-sama kita bahas dibawah ini Pada dahulu kala, di lembah antara Gunung Merbabu atau Telomoyo juga terdapat sebuah desa yang bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami dan istri yang bernama Ki Hajar atau Nyai Selakanta yang sering dikenal pemurah mauun jugap suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun dan tenang. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu akan menyelesaikannya melalui musyawarah tersebut. Suatu hari, Nyai Selakanta duduk yang termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang yang menghampiri maupun juga duduk di sampingnya. “wahai Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Selakanta masih saja terdiam sendiri. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya lalu sehingga tidak akan menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya tersebut. “Eh, Kanda,” ucapnya dengan kaget. “Istriku, apa yang sedang kau pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya. “Tidak memikirkan apa-apa Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang berpergian. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis atau juga rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi pada saat ini,” ungkap Nyai Selakanta, “yang Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali memiliki anak. Dinda ingin merawat ataupun membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghembus nafas panjang. “Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus tetap berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” kata Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil terus meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak akan kuasa menahan air matanya kekita melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu sedag menangis. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, bolehkan Kanda pergi bertapa untuk dapat memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. Nyai Selakanta pun dapat memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk dapat Keesokan harinya,lalu berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi hidupnya. Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta sudah menunggnyau, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan yang cemas kalau-kalau terjadi sesuatu dengan suaminya. pada Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual lalu kemudian muntah-muntah. Ia pun dapat berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba pada saatnya, ia pun akhirnya melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang telah dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor bayi menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini dapat diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang pada artinya keturunan Brahmana, yakni seorang resi yang dimana kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara itu kata “Klinthing” berarti lonceng. Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat juga berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun dapat terheran-heran akan bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa Sebab itu, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor bayi naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun juga berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. tetapi pada sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga tumbuh besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya lumayan cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa adanya sepengetahuan warga sekitar. Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi seorang Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya. “Bu, apakah aku memiliki ayah?” tanyanya dengan polos. Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya tersebut. Namun, hal itu telah menyadarkan kepada dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya. “Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Pergilah temui dia dan katakanlah padanya bahwa engkau ialah putranya,” kata Nyai Selakanta.“Tapi, Bu. Apakah ayah mau akan mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan sangat ragu. “Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai barang bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.” Setelah memohon restu au juga menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung sampai di sana, masuklah ia ke dalam gua dan menemuai seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu tersebut. “Hai, siapa dsana?” tanya pertapa. “Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya sangat mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting. Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara layaknya seperti manusia. “Siapa kamu dan kenapa kamu dapat berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan sangat heran. “Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh saya tahu, apakah benar ini tempat pertapaan bapak Ki Hajar?” “Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu semakin penasaran. Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung saja bersembah sujud di hadapan didepan ayahnya. Ia lalu kemudian menjelaskan siapa Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya mempunyai anak berujud ialah seekor naga. Ketika naga itu telah menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin ia sepenuhnya. “Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu ialah milikku. tetapi, bukti itu belum tentu cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu kelilingi Gunung Telomoyo ini!”kata Ki Hajar. Baru Klinthing segera melaksanakan suatu perintah tersebut untuk daat meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang telah dimiliki, Baru Klinting berhasil mengelilingi Gunung Akhirnya, Ki Hajar pun telah mengakui bahwa naga itu ialah putranya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk dapat bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” kata Ki Hajar, “Suatu saat nanti, tubuhmu akan berubah wujud menjadi manusia sempurna.” “Baik,” jawab Baru Klinthing. pada Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat Suatu ketika, penduduk Desa Pathok yang bermaksud mengadakan merti dusun bersih desa, yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk dapat memeriahkan pesta, akan adanya digelar berbagai pertunjukan seni maupun tari. Berbagai makanan lezat pun akan dipersiapkan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur itu. Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain alah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai sedang menangkap atau juga memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta tersebut. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Rupanya, anak laki-laki itu merupakan penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut dapat bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan sempat mengusirnya. “Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga sekitar, “Tubuhmu bau tidak sedap sekali.” Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia lalu berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa tersebut. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seseorang janda tua yang bernama Nyi Latung. “Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta bersama yang lainnya?” tanya Nyi Latung. “Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku yang luka luka,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya sangat lapar sekali.” Nyi Latung yang sangat baik hati itu pun juga mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan sebuah makanan yang lezat. “Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang sangat baik hati di desa ini juga.” “Iya, cucuku. Semua warga di sini mempunyai sifat angkuh. Mereka pun tidak akan mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung. “Kalau, begitu. Mereka juga harus diberi pelajaran,” kata Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, secepatnya siapkan lesung kayu lumpang alat menumbuk padi!” Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebuah batang lidi. Setiba di tengah keramaiannya, ia telah menancapkan lidi itu ke tanah. “Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat,cobala cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing. Merasa diremehkannya, warga pun datang beramai-ramai hendak mencabut lidi Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak ada seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja yang Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu tak ada seorang pun dari mereka yang mampu mencabut sebatang lidi itu tersebut. “Ah, kalian semuanya payah. Mencabut lidi sekecil ini saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing. Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun dapat mencabut lidi itu dengan alangakah mudahnya. Begitu lidi itu sdah tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, datanglah air yang menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air ini juga semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak akan menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sia sia, sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka semua. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa ataupun juga danau, yang kini sering disebut dengan Rawa Pening. pada Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu terjadi, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk dapat menjaga Rawa Pening. Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa Singkat Rawa Pening “pening” asale saka tembung “bening” yaiku tlaga kang uga dadi papan plesiran kang ana ing Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Ambane hektare, panggonane ana ing wilayah KecamatanAmbarawa, Bawen, Tuntang, lan Banyubiru. Rawa Pening panggone ing cekungan paling ngisor lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, lan Gunung Ungaran. Tlaga iki pernah kadadeyan banyune ngganti asat. Pernah dadi panggonan kanggo golek iwak, saiki arep kabeh ketutup tanduran eceng gondok. Enceng gondok iki uga wis nutupi Kali Tuntang, paling akeh bagian pinggir. Kanggo ngresiki enceng gondok utawa spesies invasif iki dilakokake kanthi cara ngresiki sarta diiadakake pelatihan gunane eceng gondok kanggo kerajinan. Menurut legenda, Rawa Pening kadadeyan saka lubere banyu kang mili saka bekas dudutan sada utawa ing basa Indonesia diarani lidi kang dilakokake dening Baru Klinthing. Crita Baru Klinthing kang maleh dadi bocah cilik kang lagi lara lan ambune amis, saengga orra bisa ditampa dening masyarakat amarga awake kang kebak borok lan ambune kang amis. Nanging akhire Baru Klinthing iki mau ditulung dening randha kang wis tua. Tlaga rawa pening iki disenengi dening para wisata kanggo obyek wisata pemancingan lan kanggo olahraga banyu. Nanging saiki , para wong kang golek iwak nganggo prau, praune angel obah amarga akehe tanduran enceng gondok. Demikianlah artikel tentang √ Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, dan Cerita Singkat dari semoga bermanfaat.
- Rawa Bacin di Desa Jatimunggul, Kecamatan Tarisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, adalah destinasi wisata yang menarik dengan keindahan alam yang memukau dan cerita sejarah yang misterius. Rawa ini memiliki luas hampir 250 hektar dan menjadi tujuan populer bagi berbagai kalangan masyarakat yang ingin bersantai, memancing, atau sekadar berfoto-foto. Namun, di balik keindahannya yang memikat, Rawa Bacin juga menyimpan kisah-kisah kelam yang terkait dengan masa lalu yang suram. Nama "Bacin" sendiri memiliki arti "busuk" dalam bahasa setempat, yang konon berasal dari sejarah penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian kaum pribumi oleh penjajah Belanda. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBaca Juga Pulau Gili Ketapang Sumbang Calon Jemaah Haji Terbanyak di Probolinggo Menurut warga setempat seperti Bapak Cecep Supriatna, banyak korban pembantaian tersebut yang dulu dibuang ke rawa ini, dan aroma busuk yang tercium di sekitar rawa tersebut konon berasal dari sejarah kelam itu sendiri. Hal ini menambah suasana mistis dan angker di rawa tersebut, terutama saat malam menurut penuturan Bapak Ujang, Rawa Bacin juga menjadi tempat bagi mereka yang mencari ketenangan dan melaksanakan meditasi. Di tempat ini, orang-orang berusaha menyepi untuk memperbaiki nasib dalam hidup mereka. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBeberapa orang yang terjerat masalah berharap menemukan kedamaian dan solusi, sementara yang lain berharap mendapatkan kekayaan. Diyakini bahwa melalui meditasi dan kekhusyukan di Rawa Bacin, seseorang dapat mendapatkan berkah dan kesuksesan. Ketika mengunjungi Rawa Bacin, pengunjung dapat menikmati pesona alam yang menawan. Pemandangan rawa yang luas, terutama saat matahari terbenam, menciptakan panorama yang memukau. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiPengunjung juga dapat memancing di rawa ini, menguji keberanian dan keterampilan mereka dalam menangkap ikan-ikan yang beragam di dalamnya. Selain itu, suasana mistis yang tersembunyi di Rawa Bacin menambahkan keunikan wisata ini. Pengunjung yang tertarik dengan hal-hal supranatural dan mistis dapat merasakan sensasi yang berbeda ketika mengunjungi rawa ini. Terutama saat malam hari, suasana rawa yang sepi dan gelap menciptakan suasana yang mencekam, mengundang rasa penasaran bagi mereka yang suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan dunia Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBaca Juga Keajaiban Mulberry Putih Cegah Penuaan Dini hingga Bantu Pembentukan Kolagen di TubuhRawa Bacin merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik di Jawa Barat yang menggabungkan keindahan alam yang memukau dengan cerita sejarah yang misterius. Keberadaannya yang mencakup kisah-kisah kelam masa lalu dan suasana mistis di malam hari menambah daya tariknya. Bagi para pengunjung yang ingin bersantai, memancing, berfoto, atau bahkan melakukan meditasi, Rawa Bacin menjadi tempat yang ideal untuk menghabiskan waktu dan menikmati keindahan alam yang luar Menarik Lainnya Dulunya Kebun Sayur, Kini Disulap Jadi Tempat Wisata ala Jepang Hits di Jatim Kodam Pattimura, Musnahkan Ribuan Amunisi Bahan Peledak Rusak Berat Hidden Gem di Bali, The Corner Warung Sajikan Menu Italia Lokasinya Dalam Gang Kecil!Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di Creators
Sinopsis Cerita Rakyat Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa. Ing desa iku manggon sepasang bojo jenenge Ki Hajar lan Nyai Selakanta. Ing jaman biyen, Nyai Selakanta sedhih amarga bebrayane durung dikaruniai anak. Sawise suwe dikunjara, Nyai Selakanta pungkasane ngandut lan nglairake anak. Banjur Ki Hajar dhawuh supaya putrane dikunjara ing Bukit Tugur. Singkat cerita, Baru Klinthing dicekel warga Pathok, dipotong-potong lan dimasak dadi panganan pesta. Wangsulane, Baru Klinthing nancepake tongkat menyang lemah lan nantang wong-wong desa supaya metu. Kanthi kekuwatan gaib, Baru Klinthing medhot tongkat kasebut lan saka tongkat kasebut metu banyu sing banjur klelep kabeh desa nganti ana telaga sing diarani Rawa Pening. Merupakan cerita zaman dulu yang menyampaikan tentang asal-usul suatu daerah atau tokoh dimana terdapat keterlibatan alam didalamnya dan dipercaya hingga saat ini. Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat asal Jawa Tengah tepatnya di daerah Semarang. Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, Cerita Singkat Dinda ingin merawat ataupun membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghembus nafas panjang. Ki Hajar pun tak akan kuasa menahan air matanya kekita melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu sedag menangis. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, bolehkan Kanda pergi bertapa untuk dapat memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar. tetapi pada sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga tumbuh besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya lumayan cukup jauh. Setelah memohon restu au juga menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung sampai di sana, masuklah ia ke dalam gua dan menemuai seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Ia lalu kemudian menjelaskan siapa Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya mempunyai anak berujud ialah seekor naga. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” kata Ki Hajar, “Suatu saat nanti, tubuhmu akan berubah wujud menjadi manusia sempurna.”. Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau tidak sedap. Ringkasan 5 Cerita Rakyat Jawa Tengah Paling Populer Berbicara soal tradisi dan kebudayaan, cerita rakyat merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat. Setelah dirawat selama tujuh hari di bawah lampu sentir, lahirlah dari dalam timun tersebut seorang bayi perempuan yang cantik dan menenangkan. Dalam perjalanan masa pertapaan Baru Klinting, dikisahkan terdapat sebuah desa yang begitu makmur namun penduduknya sangat angkuh dan membenci orang miskin. Ketika Bandung Bondowoso hendak mempersuntingnya, Roro Jonggrang menolak lamaran tersebut lantaran ia tidak mau menikah dengan orang yang telah membunuh ayahnya. Ia membangunkan dayang-dayang dan wanita-wanita desa untuk mulai menumbuk padi, serta memerintahkan agar tumpukan jerami dibakar di sisi timur. Suara antan yang bertalu-talu dan sinar pembakaran jerami di sisi timur mengesankan bahwa hari telah terbit fajar. Setelah Bandung Bondowoso menyadari tipu muslihat sang putri, ia sangat murka dan mengutuk Roro Jonggrang menjadi sebuah batu. Kisah asal usul ini juga berkaitan dengan seorang pemuda sakti dari Majethi bernama Ajisaka bersama dua punggawa setianya, Dora dan Sembada. Singkat cerita, karena kelaliman Dewatasengkar, Ajisaka dengan kesaktiannya berhasil mengalahkan Dewatacengkar, sehingga ia sendiri diangkat menjadi Raja Medhangkamulan. sinopsis cerita rakyat rawa pening dalam bahasa jawa Pada kesempatan kali ini akan membuat artikel mengenai Legenda Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa, dan Cerita Singkat, yuk sama-sama kita bahas dibawah ini Legenda Rawa […]. ASAL-USULIPUN RAWA PENING Saking dinten, wulan lan taun sampun dipunlangkungi, Baru Klinthing dereng saged manggihaken panggenanipun Ki hajar Salokantara. Saking ketebihan Ni Endhang ngetutaken Baru Klinthing ingkang sampun manggihaken papanipun Ki Hajar Salokantara, lajeng manggen ing Sepakung. Baru Klinthing bingah, lajeng matur menawi Ki hajar menika tiyang sepuhipun ingkang sampun dangu dipunpadosi ing paran. Ki Hajar dereng pitados saestu, mila lajeng maringi pitakenan dhumateng Baru Klinthing sinten ibunipunlan saking pundi papan dunungipun. Boten kanyana-nyana sukma Baru Klinthing ngetutaken warga ingkang mantuk sarana njilma dados pemudha bagus, gagah nanging reged. Ringkasan cerita rawa pening dalam bahasa jawa Ing desa iku manggon sepasang bojo jenenge Ki Hajar lan Nyai Selakanta. Ing jaman biyen, Nyai Selakanta sedhih amarga bebrayane durung dikaruniai anak. Singkat cerita, Baru Klinthing dicekel warga Pathok, dipotong-potong lan dimasak dadi panganan pesta. Wangsulane, Baru Klinthing nancepake tongkat menyang lemah lan nantang wong-wong desa supaya metu. Kanthi kekuwatan gaib, Baru Klinthing medhot tongkat kasebut lan saka tongkat kasebut metu banyu sing banjur klelep kabeh desa nganti ana telaga sing diarani Rawa Pening. Merupakan cerita zaman dulu yang menyampaikan tentang asal-usul suatu daerah atau tokoh dimana terdapat keterlibatan alam didalamnya dan dipercaya hingga saat ini. Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat asal Jawa Tengah tepatnya di daerah Semarang. Asal Usul Rawa Pening Dalam Bahasa Jawa Rawa pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di kabupaten semarang, jawa tengah. Latar cerita legenda rawa pening ini berasal dari daerah jawa tengah, tepatnya di desa ngasem. Penyihir jahat menyihir anak itu, sehingga tubuhnya penuh luka dengan bau yang sangat menyengat. Pada dahulu kala, di lembah antara gunung merbabu atau telomoyo juga terdapat sebuah desa yang bernama ngasem. Sementara itu kalau ditelisik lebih lanjut, di dalam cerita juga ada beberapa setting tempat. Hasil kerja ini merupakan salah satu wujud nyata pengembangan bahasa dan sastra, khususnya di wilayah jawa tengah. Penyihir jahat menyihir anak itu, agar tubuhnya penuh luka bersama dengan bau yang terlalu menyengat. Legenda rawa pening ini, memiliki keindahan alam yang luarbiasa, anda juga dapat merasakan keindahannya, di daerah semarang jawa tengah. Cerita mengisahkan tentang baro klinting, seekor naga, anak dari endang sawitri, putri kepala desa ngasem.
Rawa Pening merupakan salah satu objek wisata populer di Jawa Tengah. Tak hanya keindahannya, cerita legenda mengenai Rawa Pening ini juga menarik untuk disimak, lho. Penasaran seperti apa? Langsung saja simak sinopsis cerita dan ulasannya berikut ini!Sama seperti Telaga Warna, Rawa Pening yang merupakan salah satu ikon tempat wisata asal Jawa Tengah ini juga memiliki legenda mengenai asal mula terjadinya. Untuk yang mungkin lupa kisahnya atau belum pernah membaca sama sekali, tidak perlu khawatir karena kamu bisa menyimak ringkasan cerita legenda Rawa Pening berikut dulunya diceritakan secara lisan, dongeng yang juga dikenal sebagai legenda Baru Klinting tersebut memiliki beberapa versi. Bahkan, beberapa nama tokohnya ada yang berbeda. Tapi tak mengapa, dalam legenda atau cerita rakyat, hal tersebut memang biasa terjadi dan tak mempengaruhi esensi dari ceritanya, sinopsis cerita asal usul Rawa Pening, kamu juga bisa menyimak ulasan singkat mengenai unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita tersebut dan juga beberapa fakta menariknya. Daripada kelamaan, langsung saja simak kisah selengkapnya berikut ini, ya! Selamat membaca!Cerita Legenda Rawa Pening Sumber Badan Pengembangan dan Pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pada zaman dahulu kala, ada sebuah desa bernama Ngasem yang terletak di Jawa Tengah. Desa tersebut dipimpin oleh seorang tetua yang bijaksana bernama Ki Sela Gondang. Sang kepala desa memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Endang Sawitri. Hingga pada suatu hari, hampir tiba waktunya bagi desa tersebut untuk melakukan acara sedekah bumi dan merti desa. Acara tersebut biasanya dilakukan selama tujuh hari tujuh malam. Maka dari itu, beberapa hari sebelum acara, para penduduk sudah mulai mempersiapkannya. Untuk melakukan kegiatan tersebut, biasanya dibutuhkan tolak bala supaya acara merti desa bisa berjalan dengan lancar. Tolak bala tersebut berupa sesaji dan juga pusaka sakti milik seorang resi yang sakti bernama Ki Hajar Salokantara. Sayangnya, Ki Sela Gondang tidak dapat pergi. Ia pun menyuruh anak perempuannya untuk meminjam pusaka tersebut. Lokasi tempat tinggal resi tersebut lumayan jauh, tepatnya di lereng bukit Telomoyo. Berawal dari Keteledoran Menuruti perintah sang ayah, Endang Sawitri pergi dengan menggunakan kuda. Jalan yang harus ditempuhnya cukup terjal. Saat merasa lelah, ia sesekali beristirahat sebentar di pinggir sungai sambil melepas dahaga. Beberapa waktu kemudian, tibalah ia di tempat Ki Salokantara. Ia pun memperkenalkan diri dan memberitahukan maksud kedatangannya. “Sampurasun Ki, perkenalkan saya Endang Sawitri, putri dari kepala Desa Ngasem,” kata Endang Sawitri dengan penuh hormat. “Rampes, Putri Ayu. Rupanya putri Kakang Sela Gondang ini telah menjadi gadis yang cantik. Ada apa Kakang Sela Gondang mengutusmu kemari, cah ayu?” tanya Ki Salokantara. “Begini, Ki. Seperti biasa, Desa Ngasem akan mengadakan merti desa. Oleh karena itu, ayahanda mengutus saya kemari untuk meminjam pusaka sakti milik resi sebagai salah satu syarat tolak bala,” jawabnya sopan. Mendengar alasan tersebut, sang resi kemudian bergegas mengambil pusaka yang ternyata berwujud sebuah keris. Sebelum memberikannya, ia memberikan petuah yang tidak boleh dilanggar. Katanya,”Bawalah pusaka ini dengan hati-hati. Ingatlah satu hal. Jangan sekali-kali meletakkan pusaka sakti ini di atas pangkuanmu.” “Baik Ki, amanat Ki Hajar akan saya ingat dengan baik,” jawabnya kemudian berpamitan. Ia pun kembali ke desanya dengan menunggang kuda. Karena perjalanan cukup jauh, Endang Sawitri kemudian memutuskan beristirahat sebentar untuk melepaskan lelah. Ia tidak sadar kalau telah melarang pantangan dari Ki Hajar untuk tidak meletakkan pusaka keris di pangkuannya. Ketika bangun dari tidurnya, ia terkejut karena keris pusaka tersebut menghilang. Ia mencarinya di sekitar tempat tersebut, tapi hasilnya nihil. Dengan keadaan bingung dan takut, ia pun bergegas pulang. Mencari Jalan Keluar Sesampainya di rumah, perempuan itu menceritakan semuanya kepada ayahnya sambil menangis sesenggukan. Meskipun merasa kecewa, ia mencoba untuk menenangkan hati putrinya dan mencari jalan keluar. Sela Gondang kemudian pergi menemui Ki Salokantara dan menceritakan kejadian tersebut. Ia juga mewakili putrinya untuk meminta maaf karena telah menghilangkan benda pusaka miliknya. Sang resi pun berkata, “Aku sudah memaafkan putrimu, tapi sebenarnya… pusaka itu tidak hilang, tetapi masuk ke dalam rahim putrimu. Sebentar lagi putrimu akan mengandung.” Mendengar penuturan tersebut, tentu saja Ki Sela Gondang terkejut bukan main. Bagaimana anaknya yang belum menikah akan mengandung, hal tersebut akan menjadi sebuah aib. Setelah terdiam cukup lama, Kepada Desa Ngasem kemudian meminta sang resi untuk menikahi anaknya. Awalnya, ia menolak permintaan tersebut. Akan tetapi karena kasihan melihat sahabatnya, ia pun menyetujuinya. “Aku akan menikahi putrimu, tetapi hanyalah untuk menutupi aib saja. Setelah janin di dalam kandungan putrimu lahir, pernikahan ini berakhir,” jawabnya. Pernikahan antara Endang Sawitri dan Ki Hajar dilangsungkan secara diam-diam supaya tidak ada warga yang tahu. Setelah itu, wanita tersebut diboyong untuk tinggal di sebuah tempat khusus yang sudah disiapkan. Di tempat tersebut, wanita itu tinggal sendirian. Hal itu dikarenakan Ki Salokantara pergi bertapa untuk membantu istrinya terlepas dari kutukan pusaka sakti. Sebelum pergi, ia pun berpesan, “Jagalah dirimu dan kandunganmu. Apabila kelak kau melahirkan, kalungkanlah klinthingan ini sebagai bukti bahwa anak itu adalah anakmu. Suruhlah ia mencariku untuk melepaskan kutukannya.” Lahirnya Baru Klinting Sumber YouTube – valiana sandra Setelah sembilan bulan mengandung, tiba waktunya bagi Endang Sawitri untuk melahirkan. Ia melahirkan seorang diri tanpa pertolongan siapa pun. Namun, ketika bayinya lahir, ia terkejut bukan main. Pasalnya, yang ia lahirkan adalah seekor ular naga, bukan manusia. Ajaibnya, ular tersebut bisa berbicara seperti manusia. Pada awalnya, wanita tersebut tentu saja takut. Namun, lama kelamaan, rasa takut itu hilang. Ia sangat menyayangi anak tersebut dan memberinya nama Baru Klinting. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, Baru Klinting pun beranjak dewasa. Hingga pada suatu hari, ia bertanya pada sang ibu apakah ia memiliki seorang ayah. Wanita tersebut menceritakan semuanya yang terjadi. Kemudian, sang anak pun meminta izin kepada ibunya untuk bertemu dengan ayahnya. Endang Sawitri pun mengizinkannya pergi. Ia juga membekalinya dengan klintingan sebagai tanda kalau ia adalah benar-benar anaknya. Bertemu dengan Sang Ayah Baru Klinting kemudian berangkat untuk menemui sang ayah. Perjalanannya pun bisa dibilang tidak mulus karena ada banyak sekali halangan dari makhluk halus yang ingin merebut kalungnya. Beberapa waktu kemudian, tibalah ia di sebuah goa tempat di mana ayahnya bertapa. Ia lalu bergegas menemuinya. Ketika melihat sosok Baru Klinting, Ki Hajar Salokantara terkejut. Ia juga awalnya tidak percaya mendengar penuturan ular naga tersebut kalau ia adalah anaknya. Tetapi setelah melihat kalung yang berada di lehernya, ia pun mulai percaya. “Aku mengenali klintingan yang ada di lehermu itu, mungkin benar kau adalah anak Endang Sawitri, namun aku butuh satu bukti lagi bahwa kau tidak sedang berbohong,” ujar Ki Hajar. Sang resi kemudian menyuruh ular naga tersebut untuk melingkari Gunung Telomoyo, apabila berhasil berarti ia memang benar anaknya. Baru Klinting pun menyanggupinya. Benar saja, ia berhasil melakukan syarat yang diminta itu. Setelah melihat hal tersebut, Ki Salokantara percaya dan mengakuinya sebagai anak. Kemudian, sang resi menyuruh anaknya tersebut untuk bertapa dengan melingkari Gunung Telomoyo supaya terbebas dari kutukan. Menjadi Manusia Seutuhnya Sumber Jateng Tribunnews Sementara itu di bagian lereng Gunung Telomoyo yang lain, ada sebuah desa bernama Pathok. Desa tersebut kebetulan akan melaksanakan acara sedekah bumi. Para pemudanya pun berbondong-bondong untuk berburu hewan guna keperluan pesta. Sayangnya, setelah mencari ke sana ke mari, tak ada hewan buruan yang mereka dapat. Mereka kemudian kesal lalu menancapkan golok ke tanah. Betapa terkejutnya mereka ketika tanah tersebut mengeluarkan darah. Awalnya mereka begitu ketakutan. Namun, setelah mengetahui kalau itu adalah seorang naga, mereka kemudian beramai-ramai memotong daging tersebut dan membawanya pulang. Mereka begitu bahagia karena bisa mendapatkan daging untuk pesta rakyat. Tak berapa lama kemudian pesta pun digelar. Semua penduduk berkumpul dan merayakannya dengan sukacita. Hingga kemudian, datangnya seorang anak laki-laki yang memiliki luka di sekujur tubuh dan berpakaian kumal. Ia meminta makanan, tapi tak seorang pun memberi dan malah mengusirnya. Ternyata, anak laki-laki tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinting. Ia pun kemudian bertemu dengan seorang nenek baik hati yang mau memberinya makan. Nenek itu bernama Nyai Latung. Di rumah nenek tersebut, ia dijamu makanan. Sebelum pergi, ia mengucapkan terima kasih dan berpesan pada nenek tersebut untuk menaiki lesungnya ketika mendengar bunyi kenthongan. Kemarahan Baru Klinting dan Terjadinya Rawa Pening Baru Klinting kemudian memutuskan untuk kembali ke pesta. Di sana, ia mencoba lagi untuk meminta makanan, tetapi tetap tidak dihiraukan. Ia merasa kesal dan marah. Ia lalu mencari lidi dan menancapkannya ke tanah. Dirinya pun mengadakan sayembara dan menantang orang-orang di sana untuk mencabut lidi tersebut. Awalnya, orang-orang desa itu meremehkannya. Lagi pula itu hanya sebatang lidi, pasti tidak akan sulit untuk mencabutnya. Banyak orang dewasa kemudian mencobanya, tapi tak ada satu orang pun yang berhasil. “Mencabut lidi ini aja kalian tidak bisa. Kesombongan kalian tidak sebanding dengan kemampuan kalian,” ujar Baru Klinting. Lalu dengan gampangnya, ia mencabut lidi tersebut. Awalnya orang-orang keheranan, bagaimana bisa anak sekecil dia mencabutnya, padahal sudah banyak orang dewasa tak sanggup. Keterkejutan tersebut kemudian berubah menjadi ketakutan ketika air mencul dari bekas tancapan lidi yang semakin lama semakin membesar. Orang-orang pun lari pontang-panting untuk menyelamatkan diri. Bunyi kentongan pun terdengar di mana-mana sebagai tanda bahaya. Di tempat lain, Nyi Latung yang mendengar bunyi kentongan kemudian menaiki lesungnya seperti apa yang diperintahkan Baru Klinting. Semburan air semakin lama semakin besar dan menenggelamkan desa. Semua penduduk ikut tenggelam, kecuali nenek tersebut. Setelah semuanya selesai, Nyi Latung yang menaiki lesungnya menepi di sebuah tempat dan memutuskan untuk tinggal di sana. Ia juga menamai desa yang tenggelam itu menjadi Rawa Pening. Unsur Intrinsik Cerita Legenda Rawa Pening Sumber Bobo Walaupun cukup panjang, kisahnya tetap seru untuk dibaca, kan? Nah selanjutnya, di sini kamu bisa menyimak mengenai unsur intrinsik yang membangun cerita rakyat Rawa Pening. Berikut ini penjabarannya 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita legenda Rawa Pening ini adalah tentang jangan merendahkan penampilan orang lain. Hanya karena memiliki penampilan yang berbeda, bukan berarti layak untuk diolok-olok dan diperlakukan semena-mena. 2. Tokoh dan Perwatakan Dari cerita rakyat Rawa Pening ini, ada beberapa tokoh utama yang diulik. Beberapa di antaranya, yaitu Endang Sawitri, Ki Selo, Ki Salokantara, Baru Klinting, dan Nyai Latung. Yang pertama adalah Ki Sela Gondang. Ia merupakan orang yang bijaksana dan disegani. Ia adalah sosok ayah yang begitu mencintai putrinya. Dirinya juga merupakan orang yang bertanggung jawab dan mau meminta maaf atas keteledoran putrinya. Selanjutnya, ada Endang Sawitri. Ia adalah seorang anak perempuan yang cantik dan patuh. Sayangnya, ia cukup teledor dengan amanah yang diberikan. Meskipun begitu, ia mau menerima konsekuensinya dan tetap menerima buah hatinya apa adanya. Ki Hajar Salokantara merupakan seorang resi yang bijak. Ia adalah seseorang yang baik hati dan mau memaafkan. Dirinya juga sosok yang bertanggung jawab, tak hanya menikahi Endang Sawitri, tetapi juga bertapa untuk menghilangkan kutukan yang disebabkan oleh kerisnya. Lalu, ada Baru Klinting yang memiliki sifat gigih. Buktinya, ia mau menuruti semua kemauan sang ayah untuk membuktikan bahwa dirinya adalah anak kandungnya. Yang terakhir adalah Nyi Latung. Ia dengan ikhlas memberi makan Baru Klinting tanpa memandang fisiknya yang berbeda seperti warga desa yang lain. 3. Latar Dikarenakan kisah ini merupakan legenda dari sebuah tempat, maka latar tempat terjadinya cukup jelas. Latar cerita legenda Rawa Pening ini berasal dari daerah Jawa Tengah, tepatnya di desa Ngasem. Sementara itu kalau ditelisik lebih lanjut, di dalam cerita juga ada beberapa setting tempat. Contohnya adalah Desa Ngasem, hutan, dan Desa Pathok. 4. Alur Cerita Sementara itu, cerita rakyat legenda Rawa Pening ini menggunakan alur maju. Kisahnya dimulai dari Desa Ngasem yang akan mengadakan merti desa. Kemudian musibah terjadi, Endang Sawitri menikah dan menjalani kehidupan di goa. Beberapa bulan kemudian Baru Klinting lahir. Setelah dewasa, ia mencari ayahnya. Hingga kemudian bertemu dengan warga desa Pathok yang sombong. Dan terakhir, terjadilah Rawa Pening. 5. Pesan Moral Ada beberapa pesan moral yang dapat dipetik dari cerita legenda Rawa Pening. Salah satunya adalah jangan teledor seperti Endang Sawitri. Karena dari keteledoran tersebut, kamu harus menerima konsekuensi dan bisa saja membuat hidupmu kacau. Selanjutnya dari Ki Sela Gondang kamu diajarkan untuk memaafkan. Meskipun kecewa karena sang putri lalai, ia tetap memaafkan dan berusaha untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Selain itu, kamu juga diingatkan untuk tidak melihat orang lain hanya karena fisiknya saja. Semua makhluk itu diciptakan oleh Tuhan baik adanya. Hanya karena ada yang berbeda, bukan berarti kamu bebas untuk menjelek-jelekkannya. Dan yang terakhir, jadilah orang yang rendah hati dan tidak sombong. Ingatlah selalu bahwa di atas langit masih ada langit. Kalau dibiarkan, kesombonganmu itu bisa membawa petaka untuk dirimu sendiri. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupa juga perhatikan unsur ekstrinsik yang membangun cerita legenda Rawa Pening tersebut. Unsur ekstrinsik tersebut berkaitan dengan latar belakang penulis, masyarakat, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Fakta Menarik Mengenai Rawa Pening Kamu tentunya sudah puas membaca cerita beserta penjelasan mengenai unsur intrinsik dari legenda Rawa Pening ini, kan? Nah selanjutnya, ada fakta menari tentang tempat ini yang perlu kamu simak. 1. Versi Lain Sumber Dongengku Kisah ini rupanya memiliki versi yang lain, lho. Di versi ini, ada sepasangan suami istri yang sudah lama menikah, tapi tidak kunjung diberi keturunan. Pasangan tersebut bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta. Nyai Selakanta merasa kesepian akan hal itu. Namun, karena tidak ada yang bisa diperbuat, suaminya pun hanya bisa membesarkan hatinya dengan berkata kalau memang belum waktunya mereka diberi keturunan. Hingga suatu hari, Ki Hajar memutuskan bertapa di Gunung Telomoyo untuk memohon keturunan. Ketika ditinggal pergi, ternyata Nyai Selakanta sudah mengandung. Setelah beberapa bulan pergi, suaminya juga tak kunjung pulang. Kemudian, tibalah saatnya Nyai Selakanta melahirkan. Ia begitu terkejut melihat yang dilahirkannya adalah seekor naga. Ia pun merasa malu dan mencoba menutupinya dengan pergi ke sebuah tempat dan membesarkannya seorang diri. Ketika dewasa Baru Klinting bertanya mengenai ayahnya. Setelah mendengar cerita ibunya, ia pun ingin menemui sang ayahnya yang sedang bertapa. Kemudian, inti cerita selanjutnya hampir sama seperti pada versi yang pertama. 2. Dijadikan Tempat Wisata Sumber Instagram – anggarapewe Rawa yang memiliki luas hektar ini membentang di empat kecamatan dari Tuntang, Bawen, Ambarawa, hingga Banyubiru. Saking luasnya, tempat tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Nantinya tak hanya melihat air, kamu juga akan dimanjakan dengan pemandangan tiga gunung sekaligus, yaitu Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Hal itu dikarenakan tempat yang diwacanakan menjadi objek wisata kelas dunia ini terletak di cekungan terendah ketiga gunung tersebut. Di desa Banyubiru sendiri, ada sebuah tempat wisata bernama Bukit Cinta yang menawarkan keindahan Rawa Pening. Di sini, kamu tidak hanya bisa berfoto-foto saja, tetapi juga naik perahu, lho. Selanjutnya kalau di Ambarawa, ada sebuah tempat makan bernama Wisata Apung Kampoeng Rawa. Tak hanya makanan, kamu juga bisa menikmati keindahan Rawa Pening. Di sini, tersedia juga beberapa wahana permainan air. Nah, buat yang suka makan ikan, kamu bisa datang ke Tuntang. Sebagian warga yang rumahnya dekat dengan Rawa Pening bekerja sebagai nelayan sehingga kamu bisa membeli ikan segar langsung di sana. Sudah Puas Menyimak Cerita Legenda Rawa Pening dan Ulasannya? Itulah tadi ringkasan cerita rakyat Rawa Pening atau Baru Klinting serta beserta penjelasannya yang bisa disimak di sini. Bagaimana? Kamu tentunya sudah puas membacanya, kan? Nah tak hanya cerita legenda Rawa Pening, di PosKata kamu juga bisa membaca kisah lain yang tak kalah menarik, lho. Beberapa contohnya adalah Malin Kundang, Keong Mas, Roro Jonggrang, dan masih banyak lagi. Dilanjutkan terus membacanya, ya! Jangan sampai kamu menyesal karena telah melewatkannya. PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
cerita legenda rawa pening dalam bahasa jawa